Think and SOLVE our education !


Problem pendidikan dapat kau saksikan dengan melihat pemecahan masalah yang dijunjung pemerintah. Pemerintah berlomba-lomba membuat sekolah dengan standar nasional dan internasional yang berkiblat pada peningkatan kualitas katanya. Padahal sejatinya pembangunan pendidikan ini hanya berorientasi pada kebutuhan pasar saja. Pemerintah hanya melihat banyaknya orang tua mampu yang akan memasukan anaknya ke sekolah dengan embel-embel internasional ini tanpa sama sekali akan keberatan dengan biaya sekolah anaknya yang menggunung. Sehingga terciptalah hukum “sekolah yang baik dan enak itu hanya milik mereka yang kuat dan punya modal”. Di Indonesia kita ini, sudah banyak sekali sekolah dengan label internasional bermunculan, tetapi tak akan kau temukan seorang anak dari orang tua penjual gorengan mampu menginjakkan kakinya disana. Tentu pendidikan ini hanya berdasar pada keinginan praktis dan tidak matang. Sekolah seperti ini tidak dapat menjadi simbol kesetaraan dan pemerataan bagi setiap anak menurut kemampuan ekonomi keluarga.
Pemerintah memang seringkali terjebak dalam slogan bahwa anak miskin yang pandai akan dibiayai. Titik permasalahannya adalah bagaimana anak yang miskin itu akan dapat pandai? Bagaimana caranya mereka pandai? Kapankah mereka akan pandai? Kalau mengenyam pendidikan saja mereka sulit bukan main lantaran ketiadaan biaya untuk mengakses pendidikan tersebut. Jadi bagaimana kaum miskin bisa menikmati hak sama dengan kaum kaya dalam pendidikan?  Belum ada jawaban yang baik. Pemerintah tidak seharusnya membiarkan pendidikan dijual dan dikelola bebas oleh pasar karena ini akan berdampak pada sekolah-sekolah yang hanya akan saling berlomba meningkatkan keindahan dari luar, tanpa praktek isi yang menjunjung kualitas tinggi.
Ironisnya, meskipun telah banyak sekolah dengan standar internasional yang diupayakan berjalan, siswa terkesan sulit menentukan jenjang sekolah tinggi yang mereka butuhkan. Tidak hanya itu, siswa yang terbiasa dengan sistem sekolah internasional seringkali justru merasa tidak cocok dengan sistem pendidikan tinggi dalam negeri. Akibatnya banyak anak negeri ini lebih tertarik untuk membanggakan pendidikan tinggi di luar negeri. Sebut saja, anak negeri menjadi bangga bila belajar di negara lain. Selalu membandingkan negeri sendiri dengan negeri lain. Permasalahan peliknya, ada sejumlah anak negeri yang justru jadi merasakan negerinya terbelakang dan mencemooh bangsa sendiri.
Kesalahan dalam mengelola pendidikan di negeri ini karena para penyelenggara pendidikan, baik di teras pemerintah pusat hingga bawah, tidak menggunakan UUD 1945 sebagai landasan berpikir guna melahirkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang strategis bagi bangsa ke depan. Walaupun menggunakan hal tersebut, pemahamannya terkesan sepotong-sepotong terhadap isi konstitusi dasar, menjadi tidak mendalam, sangat dangkal. Intinya, pergerakan ini perlu untuk menciptakan pendidikan yang mendidik, mencerahkan, dan mampu membangun bangsa ini lebih dalam segala hal. Menciptakan kebijakan politik yang tidak lain hanya berorientasi pada perbaikan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar