Serba Serbi

     Cerita ini berawal dari pengalaman saat menjalani hari-hari setelah kelulusan. Berujung pada beberapa pandangan saya terhadap kebiasaan sahabat-sahabat di Indonesia. Pertama, cerita tiket pulang gratis, saya biasa menggunakan angkutan antar pulang berupa bus. Sebagaimana promonya, apabila telah memiliki sepuluh tiket atas nama yang sama dan tujuan pulang –pergi yang sama, maka dapat ditukarkan dengan satu tiket gratis. Disinilah permulaan masalahnya, tiket gratis sudah disepakati untuk tanggal 18, pemesanan tiket gratis tersebut saya lakukan pada tanggal 16, ketika saya menentukan nomor kursi, petugasnya bilang, “silahkan pilih nomor kursi, busnya masih kosong”. Namun pada tanggal 17 ada kabar interview kerja mendadak yang saya harus ikuti tanggal 18. Oleh karena itu, bermodalkan keberanian kembali ke loket pemesanan tiket saya berusaha untuk mengundur tanggal kepulangan pada tiket gratis tersebut menjadi tanggal 19. Petugas loket hanya menjawab, “Maaf Mbak, tiket gratis mah gak bisa dibatalin atau ditukar hari, terimakasih”.  Akhirnya saya pulang dengan kecewa, merasa betapa pelitnya program yang dibuat oleh armada angkutan besar antar pulang ini.
     Kedua, beberapa waktu sembari menunggu kesempatan bekerja saya mencoba peluang berbisnis. Sistemnya lebih kepada reseller produk fashion buatan lokal. Saya menjual barang dengan jumlah tertentu melalui media online. Kendala yang saya hadapi ada pada pemilik barang yang memberikan harga jual lagi yang begitu tinggi untuk saya. Akibatnya, saya kesulitan menentukan harga jual karena perasaan takut jikalau barang yang saya jajakan kualitasnya tidak seimbang karena harganya yang terlalu tinggi, atau harga tinggi hanya berbanding dengan kualitas barang industri rumahan yang kualitasnya tidak begitu tinggi. Disini saya begitu merasakan bahwa beberapa pedagang terkadang begitu pelit terhadap harga ketika berjual. Kalau dirujuk kepada beberapa berita yang sering muncul dibeberapa media tertulis maupun televisi, tentu masalah ini sering sekali kita lihat dan rasakan. Sebagaimana misalnya bahan-bahan pokok sembako akan dijual dengan harga yang sangat tinggi oleh pedagang di hampir seluruh wilayah Indonesia secara nakal. Membuat pemerintah harus terus menginspeksi pasar. Sebetulnya cukup sulit juga kalau inspeksi pasarnya jarang-jarang diadakan. Jadinya kesadaran pedagang dan pemerintah tetap saja gak balance.
     Cerita ketiga, saya dapatkan dari Bunda, housemate selama kuliah kemarin. Bunda pernah bercerita kalau selama melakukan penelitian di Australia untuk tesisnya, Beliau sempat beberapa kali berbelanja pada kawasan diskon di Melbourne. Lantang Beliau bercerita kalau diskon yang diberikan wilayah overseas sekitar kita seringkali sudah pada harga terendah. Sembari menunjukkan jaket bulu tebal Beliau bilang, “Ini lho, jaket ini saya beli dengan diskon 90%, jadi totalnya saya bayar cuma 2 (Dua) USD, 20 Ribu doang”.  “Itulah bedanya di Indonesia, barang diskon itu biasanya harganya dinaikan dulu dua kali lipat baru dikasih label diskon 50%”, tambah Bunda. Nah, menurut pandangan saya #bukanekonom atau #bukanahliperdagangan juga pastinya, mungkin ini penyebabnya angka nol dalam rupiah jadi banyak. Hingga terjadilah keinginan pemerintah untuk men-denominasi rupiah.  Butuh kesadaran bersama pastinya untuk sedikit lebih murah hati. Sedangkan untuk inti dan maksud penulisan ini, Cuma iseng-iseng sekadar mencari kesibukan dan melatih menulis saja hehehe.



Skema

Salam cinta bagiMu Tuhan Terkasih…
Titip rindu bagi mereka yang ada dibenakku.

Menjadi hal biasa adalah luar biasa bagi bumi.
Mengharu biru di atas bumi berlari tiada henti.
Mimpi klasik termemori.
Ini masalah hati.
Hati yang terjaga karena titah mama yang telah diberi.

Ayahku adalah papa.
Sosok yang mencoba bijaksana walau patah-patah.
Mendominasi pikiran yang gundah.
Langkah yang tak boleh kalah.
Kami yang terjaga adalah anak dan istrinya yang tercinta.
Dia adalah sosok indah.

Malaikat istimewa penjaga lara untuk tak datang mengadu.
Selalu aneh dan beringkah lucu.
Satu orang gendut, satunya lagi justru kurus kaku.
Berbaur dalam rona biru satu.
Ya, mereka adik-adik tercintaku.

Kasih Tanpa Ritus

“…Tak akan ada cerita baik, bila tak ada mereka yang selalu menginspirasi dan menauladani…”

Mama, Sang pemberi titah luar biasa.
Penyokong kasih sayang terbesar dalam sudut gelap mata yang rapuh. Bergerak-gerak sibuk dengan tubuh gempalnya, rambut hitam ikal yang tebal di kepalanya ikut bergoyang-goyang.
Seperti ibu lainnya, Mama pintar berkebun, pintar memasak, cerewet dan comel. Rumah yang hanya berlantai semen menjadi rapih dan wangi karena ulahnya. Meski keibuan, bermain bola dalam perlombaan hari kemerdekaan tak menjadi haram buatnya. Ya, begitulah Dia.
Tak akan ada anak yang bisa menolak untuk menjatuhkan air mata ketika menyebut cintanya yang tak berhingga. Sekedar mencoba sadar wujudnya tak akan selamanya mendampingi saja sulit setengah mati. Walau tahu betapa hebat sosoknya, begitu indah hatinya, mulut ini tak pernah mampu mengungkapkannya dengan lantang. Mama tak pernah protes halus tangannya memudar, tak pernah rusuh meskipun kencang kulitnya menjadi rapuh. Semoga ikhlasmu jadi do’a bagi mimpi-mimpi kami Ibunda.
Kau seorang wanita dewasa yang sedia berdiri ketika kami duduk lelah dan tetap duduk terjaga ketika kami tertidur lelap.
Do’a kami untuk indahmu Mama. Semoga Kau menjaga dirinya dengan apik Tuhan, hingga kami bertemu lagi di syorga. Tanamkan dihatinya bahwa kami mencintainya. Akan selalu merindukannya.

Papa, Si pendiam yang perhatian.
Pengalaman menarik saat aku masih duduk di kelas 2 Sekolah Menengah. Mungkin Papa sedikit lupa untuk mengingatnya, tapi tidak denganku.
Saat itu, sebuah kesalahanku tercermin membuatnya tak suka. Idealisme Papa tampak tinggi. Ia seolah berdiri menggertakkan geraham dengan tajam menatapku, terkesan berkata “Kesalahanku kali ini tidak dapat dibenarkan”. Ini membuatku untuk pertama kalinya merasa ingin membuktikan bahwa teori meminta maaf itu tidak sulit. Aku betul-betul ingin mencoba berucap maaf, tidak hanya diam dan tertunduk seperti biasanya.
Tetapi teori yang ada itu benar, empat kali mencoba berucap maaf tak menjadi berhasil, aku justru menangis. Walaupun “maaf” terucap cepat dalam kesempatan ke-lima dan Papa terlihat senang. Tetap, meminta maaf itu terasa mahal sekali. Lebih mahal dari pada memberi maaf.
Akhirnya, aku berjanji setelah kejadian itu. Aku tak akan lagi meminta maaf ke Papa. Persyaratannya tentu saja dengan berusaha untuk tidak lagi berbuat salah.
Catatan : Ketika maaf itu harus terucap kembali, kuharap itu ketika kebersamaan kita segera akan terpisahkan. Aku dengan sungguh-sungguh akan meminta maaf atas segala hal yang telah membuatmu kecewa, Ayahnda. Meminta maaf karena tidak bisa memberimu apa-apa kecuali cinta. Maaf atas caraku yang sering tak mengindahkan nasihatmu. Terimakasih atas peluh keringat yang telah tercurah untuk kami. Semoga masih ada ruang di syorga untuk kita bersama saling memberi maaf dan terimakasih. Semoga Tuhan memberi umur panjang. Semoga kami kuat, kuat berdiri sendiri. (Maaf ini tersirat dihati kami setiap hari untukmu,Pa..)

Adik-Adikku terkasih.
Mereka inspirasi tertinggi. Sosok-sosok mungil yang menjadi aspirasi berkaryaku. Melihat mereka menangis ketika kecil, menyaksikan mereka tertawa terbahak-bahak walau sudah semakin besar, bukan main menjadi jalan bagiku untuk belajar dewasa. Dua orang adik laki-lakiku dengan karakter yang tak serupa, memberiku kusempatan merasakan betapa gembiranya menjadi kakak, betapa indahnya menjadi perempuan tertua yang harus penuh dengan nasehat dan amanah.
Semoga selalu menjadi inspirasi adik-adikku sayang!
Kudo’akan sukses menyertai, tak hanya mengenai materi, tetapi juga keberhasilan menjaga kualitas hati tertinggi. Tetap jadi cahaya. Agar memberi terang, ketika keruh ada dipundak kakakmu ini.
Semoga mendapat istri yang shalehah ya :)

Amin.